Mata Peristiwa Nusantara News. Com – Pontianak – Kalbar – Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah (Sekda) Kalimatan Barat, Ignasius secara resmi membuka 4th Indonesian Palm Oil Smallholder Conference (IPOSC) & Expo 2024 di Kalimantan Ballroom Hotel Aston Pontianak, Kamis (19/9).
Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Kalimantan Barat, Ignasius secara resmi membuka 4th Indonesian Palm Oil Smallholder Conference (IPOSC) & Expo 2024 di Kalimantan Ballroom Hotel Aston Pontianak, Kamis (19/9).
Dalam sambutannya, Ignasius yang mewakili Penjabat Gubernur Kalimantan Barat, menyampaikan bahwa Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia.
Ignasius menyebutkan, pada tahun 2023, total luas area kelapa sawit di Kalimatan Barat telah mencapai 2.140.155 hektare. Dari luasan tersebut, 29 persen merupakan perkebunan rakyat atau swadaya.
Sementara, produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Kalimatan Barat mencapai 6,452.552,70 ton. Produksi ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya luas areal kelapa sawit.
“Diperkirakan produksi CPO Kalimantan Barat akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya luas areal kelapa sawit,” ungkap Ignasius.
Ignasius menekankan pentingnya langkah-langkah strategis untuk memasarkan produksi CPO yang besar di tengah isu terkait sawit di Indonesia.
Tantangan seperti deforestasi, degradasi hutan, kerusakan habitat, dan peningkatan emisi gas rumah kaca, lanjut dia, memerlukan respons yang tepat untuk memastikan keberlanjutan dan reputasi industri.
“Peranan asosiasi maupun perkumpulan seperti POPSI saat ini tentunya dapat memberikan warna yang berbeda bagi industri kelapa sawit menuju industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” ungkap Ignasius.
Dia mengatakan, produksi minyak sawit yang tidak berkelanjutan tengah menjadi perhatian dunia, salah satunya terkait dengan keputusan Uni Eropa mengenai produk bebas deforestasi atau The European Union on Deforestation Free Regulation (EUDR).
Melalui EUDR, Uni Eropa sepakat membuat aturan yang mewajibkan setiap eksportir melakukan verifikasi untuk menjamin produknya tidak berasal dari kawasan penggundulan hutan atau deforestasi.
“Keputusan Uni Eropa dalam mengeluarkan undang-undang anti deforestasi tidak melibatkan secara formal negara produsen termasuk Indonesia. Terkait hal ini tentunya bagi POPSI untuk meningkatkan seluruh anggotanya memiliki sertifikat ISPO,” ujar dia.
Saat ini, pemerintah pusat menekankan urgensi dukungan untuk memperkuat Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB), yang dinilai mampu mengatasi permasalahan dalam implementasi ISPO.
Pada kesempatan yang sama, dia juga menyampaikan beberapa konflik tenurial di Kalimantan Barat yang perlu mitigasi. Akar dari konflik tenurial tersebut antara lain disebabkan oleh tiga macam ketimpangan.
“Yang ini ketimpangan dalam hal struktur kepemilikan dan penguasaan tanah, ketimpangan peruntukan tanah, dan ketidaksesuaian persepsi dan konsepsi mengenai agraria,” jelas dia.
Selain itu, lanjut dia, tumpang tindih klaim atas kawasan hutan terjadi di antaranya akibat legislasi dan kebijakan yang tidak terformulasi secara jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi, dan penafian pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya.
“Langkah strategis yang perlu disiapkan adalah menyepakati untuk membangun sistem pemutahiran pendataan pemanfaatan lahan untuk pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan, yang untuh, terkini, dan terinci sebagai landasannya,” pungkas dia.
Sementara itu, Ketua Umum POPSI, Pahala Sibuea, melaporkan bahwa IPOSC & Expo 2024 dihadiri oleh lebih dari 600 petani dan menampilkan 23 booth, berlangsung selama dua hari pada 19-20 November.
Dia menambahkan, IPOSC keempat ini yang terselenggara atas kerja sama antara lain dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI).
Materi yang dibahas dalam IPOSC ini terkait dengan isu-isu terkini. Kemitraan antara petani dan pengusaha menjadi isu utama, di mana banyak yang berpendapat bahwa hubungan ini masih abu-abu.
“Nanti bisa kita cari solusinya, istilahnya win-win solution ya, bagaimana. Karena banyak yang mengatakan antara kemitraan ini masih abu-abu katanya,” kata Pahala.
Kemudian, terkait tata kelola berkelanjutan, terutama mengenai arah masa depan sawit Indonesia dan apakah industri ini masih dapat berjaya. Ini perlu dibahas untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing.
“Selanjutnya, peningkatan kesejahteraan petani melalui usaha tani. Nanti ada tentang bagaimana memanfaatkan lahan-lahan pertanian kebun sawit untuk usaha-usaha yang lain,” sambung dia.
Isu yang lain yang juga akan dibahas adalah program pemerintah melalui pembiayaan BPDPKS, yaitu Peremajaan Sawti Rakyat (PSR). Diketahui pemerintah telah menambah besaran dana PSR dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta per hektare.
“Nah, tanggal 1 September kemarin sudah putus katanya itu 60 juta. Ini perjuangan dari anggota POPSI itu dari tahun 2019 itu sampai dengan 2021, 3 kali kami RDP ke DPR Komisi 4 untuk memperjuangkan antara 50-60 juta untuk PSR,” ungkap dia.
Masalah lain yang juga akan dibahas adalah mitigasi hama dan penyakit, khususnya Ganoderma dan Kumbang Tanduk, yang menjadi tantangan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit.
“Terakhir, masih ada kebingungan di kalangan petani mengenai penggunaan dana bagi hasil dari produksi sawit, sehingga penjelasan dari pemerintah sangat diperlukan untuk meningkatkan transparansi,” pungkas dia.
Novi